Penyadapan yang dilakukan oleh Amerika Serikat salah satunya terhadap Indonesia melalui Australia bukanlah sebuah isu yang main main saja. Ini adalah sesuatu yang hanya tampak seakan seperti sebuah permukaan tipis akan sebuah ‘rencana’ yang lebih besar. Aksi nasionalisme yang dilakukan para hacker dan cracker Indonesia yang melayangkan protes mereka berupa peretasan ke baik berbagai situs penting Australia maupun beberapa situs “tak bersalah” ? Jangan salah dulu, bagus sih nasionalismenya, tetapi jangan keburu puas dan senang dulu namun perlu dipahami bahwa sejatinya resiko peperangan setiap hari dihadapi oleh Indonesia.
Luasnya wilayah di Indonesia memang rentan dan rawan untuk penyerangan. Secara geografis, ekspansi besar besaran pangkalan militer Amerika Serikat di Asia dan rencana mereka memindahkan kekuatan perang mereka dengan membangun basis militer besar di Australia memang patut dipertanyakan.
Ilustrasi letak pangkalan militer Amerika Serikat di seputar wilayah Indonesia. Terlihat bagaimana rentan Indonesia dan dasar Australia untuk menjadi sekutu AS.
Protes keras telah dilakukan didalam jalur diplomasi oleh Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya. Jawaban diplomatis basi pun telah dilakukan oleh Perdana Mentri Australia sendiri yang mengatakan tidak akan ada rencana itu.
Tetapi letak geografis Australia yang strategis di Asia, sekaligus juga rentan terhadap serangan (apabila ada) dari negara Asia sekitar memang mau tidak mau ‘memaksa’ mereka untuk lebih memilih menjadi sekutu Amerika Serikat. Mau apa lagi? Di jaman Orde Baru yang lalu pun mereka tidak mampu menjawab sindiran berupa ‘tantangan perang’ dari Jenderal ( Purn) L.B Moerdani saat itu, karena Australia selalu saja kedapatan usil terhadap Indonesia.
Untuk terus menerus meningkatkan pertahanan dan keamanan, TNI pun tidak tinggal diam. Sejumlah pembelian alutista ‘berat’ seperti 16 jet tempur Sukhoi jenis SU -27 SKM dan yang terbaru SU 30 MK 2 untuk memperkuat skuadron TNI AU. Helikopter canggih Mi 35 dari Rusia pun turut diambil. Hal yang tentu menimbulkan ’sedikit’ agitasi diluar pemberian ‘hibah’ 25 jet tempur F16 C Block 25 dan Helikopter penyerang Apache dari Amerika Serikat.
SU 27 SKM dan SU 30 MK 35 buatan Rusia milik Indonesia. Bikin gerah F16 Hibah, namun strategis karena kecanggihannya dan mengurangi ketergantungan dari sisi Hankam terhadap pihak AS.
Desas desus internal menyatakan bahwa meskipun era ‘perang dingin’ antara Uni Sovyet dan AS telah selesai dengan rontoknya negara adidaya Uni Sovyet sendiri yang pada akhirnya terpecah belah, pihak Rusia dan AS tetap menolak untuk bekerja sama : mereka menginginkan base yang berbeda untuk masing masing alutista yang dikirimkan ke Indonesia. Kabarnya Kalimantan dilirik untuk menjadi base Apache sendiri, hal yang juga menjadikan sedikit rawan dengan resiko infiltrasi AS lebih dalam ke Indonesia.
Helicopter Tempur Canggih Apache. Pembelian MI 35 buatan Rusia kabarnya bikin gerah AS sehingga mereka meminta Indonesia untuk mempersiapkan base di Kalimantan untuk Apache sendiri.
Di sisi lain, Indonesia pun punya NAS 332 atau lebih dikenal dengan Super Puma, yang sayangnya saat ini tidak mempunyai kemampuan daya serang maupun bertahan secara memadai. Perlu adanya pengembangan terlebih lanjut disana untuk meningkatkan kemampuannya.
Yang Indonesia butuhkan saat ini adalah pembelian Rudal penghalau semacam S3000 dari Rusia atau pun pilihan HQ 16 China. Masih geram di ingatan dimana saat jet tempur F 18 Super Hornet terbang diatas wilayah udara Indonesia kita tidak mampu berbuat apa apa dan bahkan F 16 milik TNI AU pun serta merta di lock oleh F18 dan diminta menjauh. Insiden konyol, sekaligus merupakan ancaman yang tidak bisa dianggap remeh sifatnya.
Dimana posisi kita di dalam pertahanan laut ? Duta Besar Rusia untuk Indonesia sempat ‘terpleset’ omongan bahwa memang sudah ada rencana pembelian 10 kapal selam Rusia, entah jenis Kilo yang sejatinya sudah terlalu lama dan hanya mampu bertahan dan melakukan penyerangan yang minim, atau jenis Lada maupun Amur yang konon lebih agresif, namun tak mampu bergerak lincah seperti halnya jenis Kilo sendiri. Yang sudah pasti, pembelian kapal selam jenis Changbogo u209 dengan sistem teknologi transfer telah dilakukan. Kapal selam yang dibeli dengan ’sedikit kekecewaan’ . Berbagai pihak menyayangkan pembelian kapal selam jenis “anjing kampung” ini apabila disandingkan dengan “anjing herder” buatan perancis milik beberapa negara tetangga Indonesia.
Sedikit yang mengetahui, bahwa pengembangan Changbogo ini nantinya akan dilengkapi dengan teknologi VLS ( Vertical Launching System) untuk sistem rudal yang kini tengah dikembangkan di Indonesia. Lebih lanjut lagi, Indonesia bahkan sedang mempelajari IDAS ( Interactive Defense Attack System) yang bertujuan untuk pertarungan jarak pendek terhadap jet tempur .
Apabila berhasil? “Anjing kampung” ini bisa berubah menjadi seekor pitbull : petarung begeng, kecil namun membuat gentar bahkan anjing berukuran besar sekalipun. Sejatinya, Indonesia membutuhkan minimal 14 kapal selam, dan 39 secara ideal. Saat ini ? Indonesia hanya memiliki 5 kapal selam saja, dan tak mungkin untuk membeli jumlah keseluruhan walau secara bertahap dikarenakan bujet yang tidak sedikit.
Si “anjing kampung” ChangBogo U 209. Jelas tidak sebanding dengan kapal selam modern seperti Scorpene milik Singapura , Malaysia ataupun Collin Class milik Australia. Kelas Lada dari Rusia mungkin jadi jawaban hankam laut yang lebih menarik bagi Indonesia .
Sebagai perbandingan, Indonesia saat ini mempunyai 5 kapal selam, Singapura 6 dan akan menjadi 10 dengan pembelian 4 Scorpene baru, Malaysia memproyeksikan 6 unit kapal selam, Australia 11 dan Vietnam dengan proyeksi 6 kapal selam.
Nampaknya butuh lebih dari sekedar pekikan “Jalasveva Jayamahe “( Di Laut Kita Jaya) untuk benar benar berjaya dalam pertahanan dan keamanan kelautan Indonesia.
Posisi ( dan perencanaan) alutista hankam RI sedikit jelas. Tak perlu mengumbar lebih lanjut mengenai kemampuan tempur prajurit yang sudah terbukti di berbagai medan perang.
Intelejen? Kurang mengetahui secara pasti, namun tampaknya selepas masa era Orde Baru kerjasama intelejen yang baik menjadi sedikit terbengkalai di internal hankam Indonesia. Atau sebetulnya sudah sangat baik, sehingga ’senyap’ tak terdengar? Entahlah. Tentu, yang terbaik adalah tetap menghindari peperangan bentuk fisik sendiri dengan terus menerus menguatkan posisi tawar Indonesia dan ketegasan dalam diplomasi.
Meski demikian, peperangan dalam bentuk politik, ekonomi dan yang lain pun juga merupakan hal yang tidak bisa luput dari perhatian bersama. Sesuatu yang tak nampak di permukaan, main secara cantik yang pada akhirnya pun bertujuan sama : penjajahan. Yang lebih bahaya dan tak terlalu nampak adalah pengembangan senjata kimia. Tidak bermaksud paranoid, tapi apakah pernah mempertimbangkan mengapa penyakit yang ada saat ini semakin ‘aneh aneh’ ? Tentu perubahan cuaca dan lingkungan adalah satu faktor, tetapi faktor chemical weapon tetap harus menjadi pertimbangan yang menakutkan.
Dan yang harus diwaspadai lagi adalah bentuk nyata adanya upaya politik adu domba dan perpecahan baik antar etnis, suku, golongan dan agama di Indonesia yang dulunya sejatinya merupakan kekuatan. Hal yang secara tak sadar bahkan kita pun turut larut menjadi bagiannya. Ini yang paling berbahaya, karena ‘mereka’ sejatinya tau pasti kekuatan Indonesia berupa persatuan, dan harus ada upaya untuk melemahkannya.
Selamat Hari Pahlawan, 10 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar